Dicerca di Indonesia, Islam Nusantara Justru Merambah Timur Tengah
Dicerca di Indonesia, Islam Nusantara Justru Merambah Timur Tengah
Bagi yang tak setuju dengan istilah Islam Nusantara yang
didengungkan Nahdlatul Ulama, terus menerus mengecamnya. Mereka menilai seolah
Islam Nusantara itu, sesuatu yang baru atawa aliran baru.
Padahal, telah lazim sejumlah
gerakan Islam mendengungkan sendiri-sendiri identatasnya. Seperti, Islam
Berkemajuannya Muhammadiyah, Islam Terpadu oleh PKS, Islam Kaffah oleh Ikhwanul
Muslimun, dll. Sejak awal toh, istilah itu sepi-sepi saja dari kritik dan
cercaan. Namun, beda soal dengan ketika Islam Nusantara dijadikan topik oleh NU
sejak organisasi yang berdiri pada 1926 itu menggelar Muktamar ke-33 di Jombang
pada 2015.
Toh, NU tetap saja diakui
pelbagai pihak sebagai representasi Islam moderat (bersama Muhammadiyah) di
Indonesia. Buktinya, pemerintah Arab Saudi mencoba untuk mengadopsi Islam
Nusantara, nilai-nilai kemoderatan organisasi yang didirikan para ulama dan
kiai pesantren ini, ketika mencoba berpaling dari Wahabisme yang telah
berurat-berakar di negeri tersebut.
Berikut, ngopibareng.id
menghadirkan pandangan Zuhairi Misrawi, intelektual muda Nahdlatul Ulama,
analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute,
Jakarta. Alumnus Universitas Al-Azhar itu menulis "Islam Nusantara Merambah
Timur Tengah":
Harian al-Arab, koran berbahasa
Arab yang terbit di London menurunkan tulisan panjang dengan judul Islam
Nusantara Madkhal Indonesia li Mujtama' Mutasamih . Artinya: Islam Nusantara
adalah gerbang Indonesia menuju masyarakat toleran. Beberapa bulan yang lalu,
harian terbesar di Mesir Al-Ahram dan al-Masry al-Youm juga memotret Islam
Indonesia yang ramah dan toleran, khususnya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Namun yang unik dan menarik
dari liputan Harian al-Arab ini, karena secara khusus memotret Islam Nusantara
yang secara resmi digaungkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang. Islam
Nusantara terus membahana di Amerika Serikat, Eropa, Asia, bahkan hingga
Amerika Latin.
Kali ini, media yang berbahasa
Arab tidak ketinggalan untuk mengetengahkan gerakan Islam Nusantara yang
dianggap telah berhasil menghadapi paham dan kelompok-kelompok ekstremis yang
kerap menggunakan jubah agama. Sebagai sebuah nama, Islam Nusantara bisa
dikatakan baru.
Tetapi sebagai sebuah gerakan,
Islam Nusantara sudah lama sekali tumbuh dan berkembang, terutama jika merujuk
kepada sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dikenal menghargai tradisi dan
budaya lokal. Corak tersebut ingin menegaskan bahwa Islam yang dibawa dan
datang ke Nusantara, khususnya Indonesia, adalah Islam yang ramah, moderat, dan
toleran.
Ketika Islam Nusantara menjadi
perbincangan di media berbahasa Arab, maka hal tersebut akan menjadi dentuman
yang dahsyat. Pasalnya, dunai Arab saat ini sedang menghadapi tantangan yang
cukup serius perihal maraknya ekstremisme dan terorisme.
Sejak jatuhnya Dinasti Ottoman
di Turki pada 1923, dunia Arab sulit bangkit dari keterpurukan. Alih-alih
bangkit, justru mereka terperosok dalam kubungan maraknya ideologi-ideologi
ekstremis-radikal, yang hingga sekarang ini memecah belah dunia Arab. Mereka
masih enggan untuk memasuki era demokrasi dan modernitas yang memberikan ruang
pada rasionalitas. Mayoritas dunia Arab ingin kembali ke masa lalu.
Nah, munculnya Islam Nusantara
merupakan wajah baru yang bisa dijadikan sebagai oase pemikiran bagi dunia
Arab, dan dunia Islam pada umumnya. Mereka selama ini alergi terhadap segala
hal yang berbau Barat, karena Barat identik dengan kolonialisme. Mereka pun
mulai melirik wajah Islam lain yang tumbuh subur di Indonesia. Akhirnya, Islam
Nusantara mendapatkan perhatian khusus.
Apa sebenarnya yang dimaksud
dengan Islam Nusantara? Kiai Said Aqil Siradj dalam pidato pembukaan Muktamar
NU ke-33 di Jombang menggarisbawahi beberapa karakteristik dari Islam
Nusantara. Pertama, semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan
yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama, melainkan
mengutamakan akhlaqul karimah. Ini sejalan dengan misi utama kedatangan Nabi
Muhammad yang membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.
Kedua, semangat kebangsaan
(al-ruh al-wathaniyyah). Setiap umat Islam di negeri ini hendaknya mempunyai
nasionalisme, cinta Tanah Air. Hal tersebut sudah terbukti dalam sejarah
pra-kemerdekaan, para ulama bersama para pendiri bangsa yang lain saling bahu
membahu untuk mewujudkan kemerdekaan, dan bersama-sama untuk melahirkan
Pancasila sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila
sebagai dasar negara sudah bersifat final.
Ketiga, semangat kebhinnekaan
(al-ruh al-ta'addudiyyah). Setiap umat Islam harus mengenali dan menerima
keragaman budaya, agama, dan bahasa. Tuhan pasti bisa jika hendak menjadikan
makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya
beragam agar di antara mereka saling mengenali, menghormati, serta merayakan
kebhinnekaan.
Keempat, semangat kemanusiaan
(al-ruh al-insaniyyah). Setiap umat Islam hendaknya mampu menjadi prinsip
kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan
dalam rangka menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis. Islam pada
hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Keempat karakter tersebut
memang secara distingtif menjadi unsur pembeda antara Islam Nusantara dengan
Islam ala Timur Tengah. Salah satu yang mencolok perbedaannya karena Islam ala
Timur Tengah cenderung bersifat politis. Sedangkan Islam Nusantara bersifat
kultural.
Meskipun demikian, tantangan di
masa kini dan masa mendatang tidaklah mudah. Globalisasi telah mengubah banyak
hal. Karena intensitas interaksi dan pertukaran pemikiran begitu tinggi, maka
diperlukan upaya-upaya serius untuk revitalisasi paradigma Islam Nusantara,
terutama dalam rangka membumikan paham keagamaan yang makin dinamis.
Semua menyadari, kaum muda yang
dikenal dengan "kaum milenial" kerap menjadi sasaran utama kelompok
ekstremis. Karena keterbatasan pemahaman tentang keislaman dan gairah yang
meluap untuk mencari jati diri dan identitas, maka mereka mudah dicekoki dengan
paham-paham transnasional yang dapat mengancam solidaritas kebangsaan. Akhirnya
mereka terjerembab dalam paham khilafah.
Di era Google, setiap orang
mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk menganggap dirinya sebagai
"muslim sejati". Setiap orang mempunyai kemungkinan yang sama untuk
mengetahui banyak hal tentang pemahaman keislaman, meskipun hanya di permukaan,
sehingga muncul istilah "muslim google" dan "muslim
wikipedia".
Maka dari itu, para penggiat
studi keislaman harus mampu mengartikulasikan pemikiran-pemikiran keislaman
kontemporer yang konstruktif dan mampu menjawab beberapa problem kemanusiaan.
NU melalui diskursus Islam Nusantara berada di garda terdepan untuk senantiasa
menggelorakan paham Islam Rahmatan lil 'Alamin yang mengukuhkan moderasi dan
toleransi, serta nasionalisme yang tinggi.
Apresiasi media berbahasa Arab
terhadap Islam Nusantara merupakan modal dan bukti nyata, bahwa keberislaman
kita tidak kalah bersaing dengan paham-paham yang berkembang di Timur Tengah.
Bahkan, kita bisa menyumbangkan pemikiran kita kepada Timur Tengah yang saat
ini sedang galau dan kehilangan arah.
Demikian, pandangan Zuhairi
Misrawi, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East
Institute, Jakarta.

Post a Comment for "Dicerca di Indonesia, Islam Nusantara Justru Merambah Timur Tengah"