Gus Dur, Papua dan Toleransi
1 Desember selama ini diperingati sebagai hari ulang tahun kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tahun ini jelang tahun politik, diwarnai insiden penembakan oleh OPM terhadap pekerja proyek strategis nasional dengan korban tewas lebih dari 30 orang. Hingga aparat keamanan (TNI-Polri) terpaksa melakukan perburuan terhadap kelompok separatis di bumi Papua.
Bicara Papua, saya teringat dengan seorang guru bangsa, tokoh pluralisme yang juga mantan ketua umum PBNU sekaligus mantan presiden RI ke-4, yakni KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Ketika KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi Presiden, beliau mempersilakan bendera Bintang Kejora dikibarkan di tanah Papua pada peringatan 1 Desember.
Gus Dur menyebut bahwa bendera Bintang Kejora hanya sebuah umbul-umbul seperti yang ada ketika pertandingan sepak bola. Gus Dur pun meminta TNI tidak terlalu risau dengan pengibaran bendera tersebut, karena diantara bendera tersebut masih ada Sang Dwiwarna, sang saka merah putih yang berkibar tinggi di atas bendera Bintang Kejora.
Bahkan Gus Dur pernah mendamprat Wiranto menjabat Menko Polkam gara-gara bendera OPM tersebut.
“Bapak Presiden, kami laporkan di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora.” ujar Wiranto saat melapor kepada presiden (Gus Dur).
Mendengar laporan tersebut, kemudian Gus Dur bertanya, “Apa masih ada bendera Merah Putihnya?”
“Ada hanya satu, tinggi.” ujar Wiranto sigap.
Mendengar jawaban itu, Gus Dur kemudian menjawab, “Ya sudah, anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul!” ujar Gus Dur santai.
“Tapi Bapak Presiden, ini sangat berbahaya!” sergah Wiranto.
Gus Dur pun marah dan segera mendamprat Wiranto, “Pikiran Bapak yang harus berubah, apa susahnya menganggap Bintang Kejora sebagai umbul-umbul! Sepakbola saja banyak benderanya!” ucap Gus Dur.
Gus Dur jugalah yang mengabulkan permintaan masyarakat Irian Jaya (waktu itu) untuk menggunakan sebutan Papua. Pemberian nama Papua pada Irian Jaya dan pemberian izin pengibaran bendera Bintang Kejora bukan tanda Gus Dur meremehkan terhadap Indonesia. Hal itu justru sebaliknya, Gus Dur mau membantu orang-orang Papua untuk bisa menghayati Ke-Indonesiaan dari dalam. Gus Dur percaya pada Orang Papua. Gus Dur tahu bahwa itulah cara untuk merebut hati suatu masyarakat yang puluhan tahun merasa tersinggung, tidak dihormati, dan bahkan dihina. Karena itulah orang-orang Papua mencintai Gus Dur.
Dalam sebuah diskusi di Kantor PBNU pada tahun 2007, Gus Dur yang sudah tidak lagi jadi presiden, kembali menyebut alasannya memperbolehkan bendera Bintang Kejora berkibar. Gus Dur menganggap bendera Bintang Kejora hanya bendera kultural warga Papua.
“Bintang kejora itu bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita sendiri!” kata Gus Dur saat di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta.
Gus Dur berkata kepada rakyat Papua; “Kalian boleh minta apa saja, saya akan berikan. Asal jangan berpisah. Saya akan datang ke Jayapura pada 1 Januari 2000, dan saya kembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua. Saya juga amanatkan Bendera Papua boleh dikibarkan, sebagai lambang kultural, asal ukurannya lebih kecil dari Bendera Merah Putih, dan berkibar di bawah Bendera Merah Putih.”
Bagi Gus Dur, di Indonesia hanya ada satu bendera. Yang lainnya adalah umbul umbul. Beliau mengakhiri pesannya dengan mengatakan, “Gitu saja ko repot!”
Gus Dur memang aneh tapi nyata. Pemikiran Gus Dur sangat maju melampaui zaman, sehingga banyak ucapan dan tindakan beliau yang sering disalahpahami, memantik kontra, yang kadang datang dari pendukungnya juga dari kalangan kiai dan internal NU, namun baru diketahui kebenarannya setelah beberapa tahun kemudian.
Diantara pemikiran Gus Dur yang kontroversi adalah Pluralisme. Beliau bahkan dianggap liberal atas gagasan pluralisme tersebut. Pluralisme yang merupakan paham hidup bersama dalam sebuah kemajemukan, meliputi suku bangsa, keyakinan beragama, dan lain-lain. Dalam hal pluralisme, Gus Dur memiliki sebuah pemikiran yang sangat bagus dalam hal tasamuh (toleransi) antar umat manusia. Toleransi antar umat manusia ini yang akan mampu menciptakan kedamaian dunia, memangkas sekat-sekat pemisah untuk saling berinteraksi dengan damai.
Namun ada satu hal yang sampai saat ini membuat saya masih bingung untuk mengungkapkannya, yaitu tasamuh intern dalam sesama Islam. Banyak orang yang mempelajari dan mengamalkan dengan mudah pemikiran-pemikiran Gus Dur terutama dalam hal pluralisme di Indonesia yang berbeda adat, suku, budaya, serta agama. Namun toleransi antar sesama umat Islam cenderung masih sangat sulit diterapkan karena masalah ideologi, sikap, dan pemikiran. Ideologinya ormas A tidak sama dengan ideologinya NU, ideologinya kelompok B berbeda dengan ideologinya Muhammadiyah, begitu juga ideologinya golongan C tidak sama dengan ideologinya gerakan D. Prinsip-prinsip atau ideologi ini seakan menjadi sebuah jurang pemisah yang sangat dalam diantara sesama umat Islam.
Toleransi antar umat beragama, antara Islam dan Kristen, antara Hindu dan Buddha, dan lain-lain dalam beberapa tahun belakangan nampaknya sudah berjalan dengan baik, meski ada riak-riak kecil dalam pelaksanaannya. Saat ini yang berkembang adalah adalah stigma negatif di dalam intern Islam yang tampak saling perang opini sehingga berdampak pada sulitnya wujud pluralisme itu sendiri. Pluralisme yang dimaknai sebagai toleransi secara umum cenderung diabaikan oleh antar ormas yang ada pada penganut Islam.
Mudah mengkafirkan, menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, saling berusaha menjatuhkan, ini merupakan cermin dari belum terserapnya diantara pemikiran-pemikiran Gus Dur. Ironisnya, paham pluralisme ternyata belum mampu diamalkan oleh semua warga NU, juga para GusDurian itu sendiri, termasuk saya. Para penerus pemikir Gus Dur masih juga suka dan sangat gemar menyalahkan dan menjatuhkan saudara-saudara sesama muslim, tidak cuma saat berbeda ideologi namun juga saat berbeda pilihan politik dengan dalih mereka tidak melakukan toleransi dengan saudara-saudara yang lain. Jika sudah begini, apa bedanya kita dengan mereka? Mana bisa mengamalkan Islam yang Rahmatan lil 'alamin jika keburukan harus selalu dibalas keburukan?
Satu hal yang sebenarnya menjadi perbedaan persepsi, yaitu masalah persentase benar - salah, dan baik - buruk.
Kebenaran, dan kebaikan itulah yang mendasari mengapa kita masih terkotak-kotak dalam friksi antar golongan. Dan memang akan tampak sangat sulit apabila kita menyatukan perbedaan dalam hal benar - salah dan baik - buruk ini.
Pemikiran Gus Dur mungkin saja masih jauh lebih luas dari sekedar pemikiran kita semua. Maka sudah selayaknya kita menyadari bahwa bukankah kita sendiri yang seolah-olah inklusif namun tanpa disadari bahwa kita sendiri yang eksklusif. Karena apa yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran mungkin bukanlah sebuah kebenaran buat yang lainnya.
Strategi Gus Dur dalam Mendakwahkan Islam Nusantara
Gus...
Engkau sering berkata “Gitu aja kok repot!” yang membuat lawan bicara menjadi semakin repot.
Kini, kami semakin repot setelah engkau meninggalkan kami semua.
Dari saya, orang kampung yang mengagumi Gus Dur.. له الفاتحه. . .
Abdir Rahman , 09 Desember 2018
Post a Comment for "Gus Dur, Papua dan Toleransi"